Senin, 17 Maret 2014

PENGEMBANGAN NORMA-NORMA MATEMATIKA DI KELAS DELAPAN DI JEPANG

Seorang guru di Jepang bernama Yasuhiro Sekiguchi melakukan sebuah penelitian tentang norma-norma matematika. Beliau meneliti di bawah naungan Learner’s Perspective Study (LPS), suatu penelitian internasional yang dikoordinir oleh David Clarke. Pemebelajaran matematika mempunyai tiga focus yang harus dicapai, yaitu pengetahuan matematika, prosedur-prosedur, dan pemikiran yang terkait dengan permasalahan yang ditampilkan pada pembelajaran. Pembelajaran norma-norma matematika merupakan di luar lingkup dari LPS. Dan diharapkan hasil dari penelitian yang dilakukan Sekiguchi ini akan menjawab pertanyaan “Norma matematika apa yang akan muncul pada pelajaran ini? Bagaimana cara guru memperkenalkan, merundingkan atau menetapkan norma-norma itu selama pelajaran?
Norma-norma matematika di kelas delapan ini ada empat. Pertama, norma 1, efisiensi. Norma ini enekankan tentang cara menyelesaikan suatu permasalahan matematika yang lebih efisien. Guru menunjukkannya dengan cara membandingkan pekerjaan dua siswa (Kori dan Suzu) di depan kelas sehingga siswa dapat mengkonstruksi pemahamannya sendiri tentang cara mana yang lebih efisien.
Norma 2, upaya yang tidak efisien pun terdapat ide-ide penting. Dalam permasalahan program linier yang dipresentasikan oleh Kori dan Suzu, terdapat cara yang tidak efisien yaitu jawaban dari Kori. Namun apabila dilihat kembali, menurut dari artikel ini cara Kori menyelesaikan permasalahan ini merupakan cara substitusi yang masih akan dipelajari pada tahap pembelajaran selanjutnya.
Norma 3, dalam matematika anda tidak bisa menuliskan sesuatu yang belum terbukti. Guru memunculkan norma ini dengan membandingkan pekerjaan dua siswa (Uchi dan Kizu). Pada pertemuan sebelumnya guru telah memberikan suatu pekerjaan rumah tentang pengecekan terhadap solusi permsalahan tersebut. Guru mencoba untuk membiarkan siswa menyadari bahwa jika siswa menulis sebuah persamaan dalam suatu solusi, itu berarti siswa telah menunjukkan sebuah kesetaraan, atau bahwa dalam penjelasan matematis siswa tidak dapat menuliskan yang belum terbukti kebenarannya.
Norma 4, ketelitian lebih dihargai daripada kecepatan. Dalam matematika, menetapkan kebenaran adalah salah satu tujuan yang paling penting. Guru menekankan kepada siswa bahwa dalam menyelesaikan permasalahan perhitungan yang akurat lebih baik daripada perhitungan cepat. Karena dalam perhitungan cepat, langkah-langkah dapat dihilangkan namun hal ini tidak mesesuai dengan prosedur.
Berdasarkan uraian-uraian dalam artikel, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga strategi guru dalam mengembangkan norma-norma matematika ini, yaitu menggunakan pekerjaan siswa, membandingkan pekerjaan siswa, lebih memberikan perhatian terhadap siswa yang tidak mengikuti suatu norma.
Sumber dari In Chick, H. L. & Vincent, J. L. Proceedings of the 29th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, Vol. 4, pp, 153-160. 2005
Ditulis kembali oleh Rizka Khoerun Nisa

Minggu, 09 Maret 2014

Norma-Norma dan Matematika



Seorang guru matematika kelas 6 sekolah dasar, bernama Scott Frye dan Signe Kastberg mengadaptasi sebuah rasio perbandingan suatu permasalahan yaitu pembagian pizza antara dokter dan atlit, dalam menembangkan norma-norma social yang dapat diberlakukan dalam semua disiplin ilmu. Dalam diskusi kelasnya, Frye mengharapkan semua siswa yang berada di kelasnya akan mempunyai tingkah laku tekun, menantang dan bertanya dalam menyampaikan pendapat mereka ke teman-teman lainnya serta guru.
Tingkah laku tekun, menantang dan bertanya dalam perkembangannya mempunyai pengaruh besar terhadap kecakapan siswa. Kecakapan adalah bekerja untuk mengidentifikasi alur penyelesaan; menemukan penyelesaian; bekerja dengan penyelesaian yang lama untuk mengeksplor metode lain dalam menyelesaikan masalah; dan memperpanjang pertanyaan dari masalah yang lebih sulit. Salah satu murid dari Frye, Jessica menggambarkan bagaimana norma ketekunan sangat efektif dalam menemukan solusi permasalahan pembagian pizza antara dokter dan atlit. Bahkan, dia dapat menyimpulkan bahwa dia lebih suka memilih menjadi atlit karena mendapatkan sepersepuluh pizza lebih besar dari dokter.
Kecakapan matematika meliputi lima keterampilan yang terjalin dan watak-watak (disposisi) yang diperlukan untuk sukses dalam belajar matematika. Sedangkan siswa dari Frye menunjukkan tiga hal yaitu: kompetensi strategis, penalaran adaptif dan disposisi produktif. Jessica dan Abbey berpendapat bahwa matematika merupakan sesuatu yang “masuk akal, bermanfaat, dan berharga”, inilah salah satu disposisi produktif yang merupakan salah satu bagian dari kecakapan matematika.
Sedangkan norma menantang dan bertanya ditunjukkan pada saat Ashley dan Stevie beradu pendapat tentang apakah jumlah dokter dan atlit akan berjumlah sama. Stevie bertanya pada Ashley, apakah jumlah dokter dan atlit akan berjumlah sama apabila kita tetap menghitung? Dari pertanyaan ini, Stevie sudah menerapkan norma menantang dan bertanya pada Ashley.
Pengembangan kecakapan social dapat timbul dari usaha guru dalam menghadirkan norma matematika social. Dalam kelas Frye ini, diskusi dan membandingkan solusi yang didapat oleh masing-masing siswa dapat membantu membangun kecakapan matematika siswa, melalui norma-norma tekun, menantang dan bertanya.
Sumber dari Teaching Children Mathematics Vol. 20, No. 1, Agustus 2013
Ditulis kembali oleh Rizka Khoerun Nisa

Minggu, 02 Maret 2014

Di Bawah Ujung Gunung Es: Menggunakan Representasi untuk Mendukung Pemahaman Siswa

Pada artikel ini guru matematika pada tingkat menengah menemukan tantangan yang harus segera ditanggulangi. Yaitu membantu siswa-siswa yang berlatar belakang memiliki nilai prestasi yang di bawah rata-rata. Guru yang telah berusaha untuk menjelaskan dan memberikan materi atau bahan pelajaran bagi siswa, namun banyak siswa yang bingung mengenai prosedur atau cara dan akhirnya lupa. Intervensi yang utama untuk dilakukan adalah mengatasi kebingungan siswa dengan cara melatih kembali prosedur atau cara umum dan memberikan latihan tambahan dengan harapan bahwa siswa akan memahami dari waktu ke waktu.
Dalam mengatasi permasalahan ini, guru perlu membuat suatu terobosan baru pada saat itu. Secara khusus, untuk mengatasi kebutuhan bahan-bahan pelajaran siswa guru perlu membuat keputusan mengenai pemilihan pengalaman yang bisa menutup kesenjangan prestasi. Namun, tanpa kerangka atau rancangan untuk memilih representasi yang penting dan pengalaman. Guru tergantung pada desain dan rangkaian kegiatan dalam bahan ajar yang mereka gunakan dalam kelas mereka.
Representasi yang digunakan guru harus mampu meningkatkan jalan masuk siswa menuju matematika. Sebuah “model gunung es”, yang dikembangkan oleh Institut Freudenthal bagi guru-guru di Netherlands, yang digunakan oleh para guru kelas menengah di Amerika Serikat. Model ini mendukung adanya pilihan intervensi material bahan-bahan pelajaran yang dapat diterima dan rangkaian bahan-bahan pelajaran yang berpusat pada siswa. Model ini telah membuktikan sebagai perumpamaan yang sangat kuat untuk menjelaskan bagaimana siswa memerlukan pengalaman luas dari model matematika untuk membuat arti dari sebuah representasi matematika formal.
Beberapa kelompok dari guru dapat berkerja sama mengenai model gunung es, yang menawarkan sebuah keadaan untuk menyelidiki dan merundingkan representasi tentang hal-hal yang perlu dan rangkaian aktivitas-aktivitas dalam material bahan-bahan pelajaran. Model ini adalah sebuah perumpamaan, yang membedakan peran dari representasi informal, preformal, dan formal yang digunakan oleh siswa.
Ditulis kembali oleh Rizka Khoerun Nisa

Sumber : “Beneath the Tip of the Iceberg: Using Representatios to Support Student Understanding” oleh David C. Webb, Nina Boswinkel, dan Truus Dekker