Senin, 24 Februari 2014

Penggunaan Model–Model yang Didaktis dalam Pendidikan Matematika Realistik: Misalnya dari Sebuah Pintasan dalam Presentase

        Pendidikan Matematika Realistik adalah sebuah teori yang spesifik untuk pendidikan matematika. Teori ini ditemukn oleh orang Belanda yang bernama Fredeunthal dalam rangka untuk memperbaiki pembelajaran matematika. Fredeunthal menyatakan bahwa supaya matematika menjadi bagian dari sebuah nilai manusi maka matematika harus dihubungkan dengan kenyataan, yang berdekatan dengan siswa dan juga harus relevan dengan masyarakat, beliau juga menambahkan bahwa penggunaan realistik konteks juga menjadi salah satu yang menentukan karakteristik dari pendekatan matematika. Dalam PMR, siswa akan diajarkan matematika dengan mengembangkan dan mengaplikasikan konsep matematika dan alatnya ke dalam situasi masalah kehidupan sehari-hari yang dapat bermakna bagi mereka.
        Deskripsi dari penggunaan model batang yang didaktis berdasarkan perkembangan karya yang dimuat dalam proyek Matematika Konteks, proyek yang diarahkan pada kurikulum matematika untuk sekolah menengah di U.S. Proyek ini dibiayai oleh National Science Foundation dan dilaksanakan oleh Center for Research in Mathematical Science Education di Univercity of Wiconsin-Madison, dan the Fredeunthal Institute of Utrecht Univercity. Desain kurikulum menggambarkan isi matematika dan metode pembelajaran yang dianjurkan oleh Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics (NCTM, 1998). Ini artinya filsafat dari kurikulum dan perkembangannya berdasarkan pada kepercayaan bahwa matematika seperti kumpulan ilmu lain, adalah produk penemuan baru dari manusia dan aktivitas sosial. Filsafat mempunyai banyak keadaan yang biasa dengan PMR. Itu adalah kepercayaan Fredeunthal bahwa struktur matematika bukan merupakan sebuah perbaikan data, tetapi mereka muncul dari kenyataan dan secara berkesinambungan meluas dalam proses pembelajaran individu dan kelompok. Dengan kata lain dalam PMR siswa adalah anggota aktif dalam proses pembelajaran yang menempatkan konteks sosial di kelas.
        Salah satu konsep dasar dari PMR adalah pemikiran dari Freudenthal bahwa matematika merupakan sebagai sebuah aktivitas manusia. Menurut beliau, matematika bukanlah pokok dari pengetahuan matematika, tetapi merupakan sebuah aktivitas pemecahan masalah dan mencari masalah, dan lebih umumnya aktivitas dari mengorganisasikan persoalan dari kenyataan atau persoalan matematika yang beliau namakan ‘matematisasi’(Fredeunthal, 1968). Dengan sangat jelas beliau memperjelas bahwa matematika adalah: “Tidak ada matematika tanpa matematisasi”.
        Aktivitas ini berdasarkan interpretasi dari matematika yang juga mempunyai konsekuensi penting untuk bagaimana pendidikan matematika itu terkonseptualisasi. Lebih tepatnya, ini mempengaruhi kedua tujuan yaitu pendidikan matematika dan metode pengajaran. Menurut Freudenthal, matematika bisa dipelajari dengan melakukan dan mematematisasikan inti dari tujuan pendidikan matematika.
        Meskipun Fredeunthal dalam tulisan awalnya tidak diragukan berkenaan dengan matematisasi, dan beliau membuatnya jelas bahwa beliau tidak ingin membatasi matematisasi pada sebuah aktivitas level rendah, dimana diaplikasikan untuk mengorganisasikan persoalan selain matematika dalam sebuah cara matematika, fokus utama dari Freudenthal adalah mematematisasikan kenyataan dalam arti umum dari dunia luar.

Sabtu, 15 Februari 2014

Menemukan Situasi untuk Mematematisasi

Pembangunan sebuah konsep matematika bertujuan untuk membuat anak dapat mematematisasi kehidupan nyata mereka sendiri dan potensi situasi yang dapat mengembangkan kemampuan tersebut harus dibentuk atau ditemukan yang kemudian diterapkan secara hati-hati. Siswa harus diberikan kesempatan untuk memberanikan diri mereka mengerti matematika dan melihat dirinya sebagai matematikawan. Kita harus melibatkan mereka dalam mengartikan dunia mereka secara matematika. Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa matematika ada di sekitar kita dan memberikan contoh-contoh sederhana yang ada di sekitar mereka. Seperti melihat angka pada sebuah tanda, nomor telepon, alamat rumah atau dengan menunjukkan bentuk geometri pada makanan, cangkir, kotak, dan objek lainnya di sekitar kita.
Situasi yang dapat dimatematisasikan oleh pembelajar, setidaknya memuat tiga komponen:
1.      Situasi yang berpotensi untuk memodelkan matematika harus dibangun (Freudenthal 1973). Misalnya, bus dan kereta bawah tanah dapat digunakan sebagai model matematika dalam memodelkan penambahan dan pengurangan. Kemudian skenario tentang toko penjual bahan makanan dan eceran, permainan papan atau permainan kartu mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi model matematika.
2.      Situasi yang dibuat mengharuskan siswa untuk menyadari apa yang sedang mereka lakukan. The Dutch atau orang Belanda menggunakan istilah zich reliseren dalam menggambarkan atau membayangkan sesuatu secara konkret. (Van Heuvel-Panhuizen 1996)
3.      Situasi yang mendorong anak untuk bertanya, memperhatikan pola, bertanya-tanya, mengapa dan bagaimana jika. penemuan adalah inti dari mematimatisasi. Pertanyaan yang datang dari interaksi antara kita dunia sekitar.

Sumber dari Young Mathematicians At Work

Ditulis kembali oleh Rizka Khoerun Nisa

Jumat, 07 Februari 2014

Tips Menanggulangi Keterbatasan Alat Peraga dalam PMRI

Seperti yang kita ketahui bahwasanya dalam pembelajaran PMRI itu biasanya guru selalu menggunakan alat peraga, namun yang menjadi masalah disini guru kesulitan dalam menciptakan alat peraga dalam suatu pembelajaran matematika.
Pemecahan masalah dari persoalan tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan melakukan pembelajaran terpadu dengan mata pelajaran yang lainnya. Misalkan guru memadukan mata pelajaran Matematika dengan Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK), dengan memadukan kedua mata pelajaran tersebut maka guru dapat menggunakan barang-barang atau karya-karya yang dihasilkan siswa saat pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK) menjadi alat peraga atau media belajar bagi siswa ketika pelajaran Matematika.
Dengan demikian anak akan merasa senang belajar Matematika dan sekaligus merasa dihargai serta bangga karena karya yang dibuat itu digunakan dan guru pun tidak perlu menambah pekerjaannya dalam membuat alat peraga.
Saat pembuatan alat peraga yang sekaligus dipadukan dalam pelajaran KTK harus memperhatiakan kaidah-kaidah pada kurikulum mata pelajaran KTK dan harus mengkombinasikan antara ekspresi seni dan tata nilai serta hasil karya siswa dikoleksi dalam ruang kelas dan ditata atau dipajang sedemikan rupa agar dapat menambah estetiska ruang kelas agar dapat dijadikan alat peraga atau media pembelajaran matematika.

Sumber : Buletin PMRI edisi kedua Oktober 2003 hal. 2

Oleh : Heri Supriyana, S. Pd (SD Percobaan 2 Yogyakarta)

Pengukuran Dengan Manik-Manik

Matematika merupakan salah satu pelajaran yang tidak disukai oleh siswa. Matematika dianggap pelajaran yang membosankan karena hanya membahas angka yang tidak ada habisnya. Matematika juga dianggap sebagai pelajaran yang sulit karena mempelajari hal-hal yang abstrak sehingga membuat siswa semakin tidak menyukainya. Belum lagi penilaian matematika yang terpaku pada aspek kognitif saja sehingga siswa menggunakan segala cara untuk mendapatkan nilai. Hal ini membuat cara yang dilakukan siswa kurang tepat misal dengan cara menghafal. Dan akhirnya tidak memperhatikan apakah siswa tersebut sudah paham atau belum.
Seorang guru SD Setiabudhi Bandung bernama Imas memberikan sebuah inovasi dalam mengajarkan dengan menggunakan pembelajaran PMRI. Pembelajaran ini lebih mengutamakan proses daripada hasil belajar siswa. Dengan menggunakan pembelajaran PMRI yang memanfaatkan benda-benda nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga diharapkan membuat siswa lebih mengenal matematika melalui benda-benda nyata yang ada di sekitar mereka.
Manik-manik merupakan benda yang mereka kenal dalam keseharian siswa sehingga guru memanfaatkan manik-manik untuk dijadikan alat peraga. Manik-manik digunakan dalam materi pengukuran pada tingkat anak sekolah dasar untuk membilang dari bilangan 101-300. Siswa tidak membilang dari 101-300 secara langsung namun siswa akan dibentuk dalam beberapa kelompok yang kemudian diberikan sebuah permasalahan sederhana. Masalah sederhana tersebut diselesaikan dengan menggunakan manik-manik. Sebagai contoh, guru meminta dua orang siswa untuk maju ke depan kelas untuk mengukur pergelangan tangan menggunakan manik-manik.
Manik-manik yang diberikan sejumlah 50 buah dengan 4 atau 5 warna yang berbeda. Siswa menyusun untaian kalung dengan menggunakan benang knor. Cara penyusunan warna bebas sesuai kehendak siswa. Setelah selesai kemudian guru memberikan Lembar Aktivitas Siswa (LAS) untuk dikerjakan. Dalam LAS siswa disuruh untuk mengukur benda yang sudah ditentukan oleh guru dan siswa juga diberi kesempatan untuk menentukan benda yang akan diukur selain benda yang ditentukan oleh guru.
Siswa disuruh untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka tentang permasalahan yang diberikan ke depan kelas. Dengan diskusi atau demonstrasi inilah guru dapat melihat dan menilai siswa dalam menyelesaikan masalah dengan cara yang mereka temukan sendiri. Dari hasil temuan itu, siswa mendapatkan strateginya dalam membilang dengan cara menggunakan manik-manik ini. Hasil lain yang diperoleh adalah membilang kelipatan atau siswa menyebut ini bilangan loncatan serta menentukan panjang dan lebar suatu benda yang dinyatakan dalam satuan manik-manik.
Pembelajaran dengan menggunakan manik-manik ini memerlukan waktu setidaknya 20 jam pelajaran (3-4 kali pertemuan).  Pembelajaran ini tidak menghabiskan waktu yang cukup banyak seperti pada pembelajaran biasanya karena materi yang diajarkan tidak diberikan per sub bab tetapi diberikan secara keseluruhan sehingga tidak memakan waktu yang banyak.

Sumber : Buletin PMRI edisi kedua Oktober 2003 hal. 2

Oleh : Imas (Guru SD Setiabudhi Bandung)

Sekelumit Aplikasi PMRI

Pendidikan Indonesia mulai berkembang dengan adanya proyek Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). PMRI yang diujicobakan di SDN Percobaan 2 Yogyakarta mengalami kendala mulai dari siswa, buku, alat peraga, dan orang tua. Kendala yang dihadapi mulai dari siswa yang hiper aktif membuat kelas menjadi gaduh apabila kemauannya tidak tersalurkan sedangkan siswa yang lain hanya bisa diam saja menerima asupan materi dari guru. Padahal, PMRI menempatkan guru sebagai fasilitator dan membimbing.
Banyaknya kendala dan kekurangan seperti buku yang susah dipahami dan dicerna siswa SD, kurangnya alat peraga,  keberagaman sifat yang dibawa setiap masing-masing siswa. Untuk kelancaran metode PMRI perlu adanya koordinasi dari guru dan pihak penyelenggara proyek. Agar pelaksanaan metode PMRI berjalan lancar memerlukan:
1.      Rambu-rambu manajemen yang sesuai dengan prinsip-prinsip PMRI.
2.      Adanya standar penilaian dan format penilaiannya.
3.      Pembinaan berkesinambungnan untuk guru yang melakukan uji coba.
4.      Fasilitas alat peraga yang sudah siap digunakan.
5.      Buku ajar yang edukatif sesuai tingkat kelasnya.
PMRI adalah pengajaran yang berangkat dari realita yang dihadapi anak. Kelas yang mempunyai siswa heterogen diharapkan semua siswanya menjadi aktif di dalam kelas dengan pengetahuan dasar siswa masing-masing. Sehingga, matematika tidak menjadi mata pelajaran yang menakutkan bahkan menjadi momok tersendiri bagi siswa. Denngan adanya PMRI siswa mampu merasakan kesenangan dan kegembiraan dalam belajar matematika. Siswa tidak merasa terpaksa untuk belajar matematika, karena pembelajaran bisa dibawakan dengan suasana bermain.
Adanya alat peraga yang jelas bisa meningkatkan minat belajar siswa. Dalam kenyataan di lapangan ada alat peraga yang petunjuknya kurang jelas, sehingga siswa menjadi tidak terkontrol saat mereka aktif semua secara bersamaan dan kelas menjadi gaduh. Pada umumnya, siswa SD lebih suka bermain daripada belajar mandiri. Adanya PMRI guru dapat memfasilitasi siswa masa bermain untuk bermain dalam belajar khusunya matematika.

Sumber: Buletin PMRI edisi kedua Oktober 2003 hal.4

Oleh Budiyati, S. Pd. (Guru SD N Percobaan 2, Yogyakarta)